MEMISAHKAN SEPAK BOLA DENGAN POLITIK adalah sejenis utopia bagi mereka yang ahistoris. Sepak bola sejak awal senantiasa berkelindan dengan politik. Ia dibenci dan dicintai, sesuatu yang diwaspadai sekaligus dimanipulasi, sebagai bagian dari ikhtiar menjaga otoritas.
Raja Edward II di Inggris pada 1314 mengutuk sepak bola tak ubahnya permainan liar dan kampungan yang memicu kejahatan. Ini sesuatu yang Tuhan pun melarang. Para raja sesudahnya menetapkan sepak bola sebagai bagian dari pelanggaran hukum.
Kaum intelektual kiri awalnya menganggap sepak bola seperti opium yang meninabobokan kaum buruh. “Penyebaran sepak bola ke seluruh dunia adalah tipu daya kaum imperialis agar tetap menindas rakyat dan menjebak mereka dalam masa kanak-kanak abadi,” tulis Eduardo Galeano, sastrawan Amerika Latin.
Namun sepak bola pula yang menjadi alat perlawanan terhadap penindasan. Tahun 1942, sebelas pemain Dinamo Kiev, Ukraina, dieksekusi mati karena menolak kalah saat melawan tim sepak bola Jerman. Mereka diancam: ‘menang berarti mati’, dan mereka memilih untuk menjemput ajal dengan terhormat.
Keterkaitan politik dan sepak bola makin kompleks saat ini, termasuk dengan suporter atau fans. Sepak bola adalah hiburan bagi kaum pekerja. Stadion adalah tempat mereka melakukan konsolidasi sosial.
Inggris jadi contoh bagus bagaimana kaum pekerja menjadikan stadion sebagai ‘kuil’ ideologi dan kanalisasi kegelisahan sosial. Mereka bekerja keras di pabrik-pabrik sejak Senin hingga Jumat, dan menjadi satu dalam gelombang besar nyanyian dan teriakan penuh ‘passion’ mendukung klub sepak bola lokal.
Klub sepak bola adalah bagian dari identitas komunitas. Maka saat klub seperti Wimbledon membubarkan diri dan membentuk klub baru bernama MK Dons, fans Wimbledon menolak. Mereka memilih mempertahankan identitas dengan membentuk klub dengan nama AFC Wimbledon. Mereka menuntut agar MK Dons mengembalikan trofi Piala FA yang diraih pada 1988 saat klub masih bernama Wimbledon. Berhasil. Piala turnamen sepak bola tertua di dunia itu dikembalikan kepada AFC Wimbledon.
Selama masa pemilu 2019, sejumlah stadion di Inggris menjadi ruang ekspresi politik. Mereka menyanyikan lagu untuk Jeremy Corbyn, calon perdana menteri dan pemimpin Partai Buruh. Foto Corbyn ada di spanduk hitam milik suporter Liverpool.
Spanduk dukungan untuk Partai Buruh dibentangkan: Vote Labour for the Many. Ada pula spanduk ‘North Remember’. Spanduk ini mengingatkan orang tentang penderitaan yang dialami kaum buruh di kawasan utara Inggris selama masa pemerintahan Margareth Thatcher dan Partai Konservatif (Tory) pada 1979-1990. Thatcher, penganut pasar bebas garis keras itu, memang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan terhadap sepak bola dan fans olahraga ini.
Para fans di Inggris sadar betul bahwa politik dan sepak bola adalah hal yang mustahil dipisahkan. Apalagi pada masa berkuasa, Thatcher tidak peduli pada olahraga kecuali sudah menyentuh dan berdampak terhadap kebijakan politik. Saat Olimpiade Moskow 1980, Thatcher menyerukan boikot sebagai bentuk protes terhadap invasi Soviet ke Afganistan.
Kuatnya posisi tawar fans sepak bola yang rata-rata kelas pekerja dan terikat kuat dengan klub lokal membuat Partai Konservatif maupuh Buruh sama-sama menawarkan program kerja untuk mereka.
Partai Konservatif berjanji akan melaksanakan program perluasan akses dan pelayanan bagi fans sepak bola yang menyandang disabilitas. Partai Buruh juga akan memastikan akses penuh di seluruh stadion sepak bola di Inggris untuk fans difabel. Jika berkuasa, Buruh juga akan memuluskan ‘Fans Fare’ melalui Kementerian Transportasi agar para fans sepak bola terlindungi dari ongkos perubahan jadwal pertandingan oleh pemegang hak siar televisi.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sebagian besar fans sepak bola memilih mengampanyekan ‘tendang politik dari sepak bola’. Sebagai sebuah sikap ini tentu sah saja, tapi sebenarnya naif jika melihat sejarah sepak bola di Indonesia bertautan dengan politik kekuasaan. Semua rezim pemerintahan tingkat nasional dan daerah selalu memanfaatkan sepak bola untuk menarik simpati publik. Sepak bola adalah anak kesayangan politik Indonesia kendati tak pernah berprestasi. Bahkan Presiden Joko Widodo saat melantik Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali mengingatkan: ‘sepakbolanya, Pak’.
Jika fans di Indonesia ingin pemerintah memperhatikan urusan sepak bola sebagai kebijakan publik yang penting dan krusial, maka saatnya mereka untuk menunjukkan posisi tawar saat musim pemilihan politik. Mereka bisa memulai dari kepentingan klub yang didukung. Kepentingan klub akan menyatukan para fans agar tidak terpecah. Di Surabaya, hanya Persebaya yang bisa mempersatukan Bonek yang secara ideologi berbeda dan memiliki kesadaran politik beragam.
Salah satu contoh mungkin adalah perjuangan Bonek agar Persebaya tetap bisa berkandang di Surabaya pada musim 2020. Soliditas Bonek bisa diarahkan untuk membuat perjanjian politik dengan para bakal calon walikota, terutama yang didukung Wali Kota Tri Rismaharini, untuk memuluskan Persebaya tetap bisa bermain di Surabaya kendati Gelora Bung Tomo direnovasi. Pilihannya: dukungan politik dibarter dengan kepentingan Persebaya. Ke depan, Bonek juga bisa memperluas kompensasi dukungan politik dengan kebijakan hak penggunaan Wisma Persebaya yang diserahkan kepada klub.
Sebagian Bonek pernah terang-terangan mendukung Imam Nahrawi saat pemilu tahun 2014. Mereka berharap Nahrawi bisa memperjuangkan Persebaya agar berkompetisi lagi saat duduk di kursi parlemen maupun pemerintahan. Selanjutnya kita tahu, Nahrawi punya peran dan jasa besar terhadap kembalinya Persebaya ke kompetisi nasional.
Politik memang menjengkelkan terkadang. Namun apa yang menjengkelkan tak selamanya harus dibuang. [wir/but]
"bola" - Google Berita
January 21, 2020 at 03:59PM
https://ift.tt/3azuOkT
Suporter (Seharusnya) Berpolitik dalam Sepak Bola - beritajatim
"bola" - Google Berita
https://ift.tt/31nZHnd
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Suporter (Seharusnya) Berpolitik dalam Sepak Bola - beritajatim"
Post a Comment