Bola.com, Jakarta - Hanya lima hari sebelum sepak mula Shopee Liga 1 2020, publik sepak bola Indonesia dikejutkan dengan kabar pengunduran diri Eduardo Perez dari jabatan pelatih kepala PSS Sleman. Kepastian itu disampaikan manajemen tim Elang Jawa ke publik pada Senin (24/2/2020).
Kendati, diketahui pelatih asal Spanyol itu sudah pamit dengan para pemain pada Minggu (23/2/2020).
Karier Eduardo Perez di PSS terbilang sangat singkat. Ia ditunjuk manajemen untuk menggantikan posisi pelatih musim lalu, Seto Nurdiyantoro, pada 15 Januari 2020.
Namun, kedatangannya kurang mendapat sambutan apik dari kalangan suporter, yang masih menginginkan Seto membesut tim Elang Jawa.
Belakangan beredar kabar, keputusan mundur itu dipicu faktor teknis dan penampilan tim.
Ini jadi yang pertama, pelatih yang diproyeksikan bertugas mulai Shopee Liga 1 2020, mundur. Bahkan, sebelum kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Indonesia itu benar-benar bergulir.
Hanya, situasi seperti ini sepertinya sudah seperti lazim di kompetisi Indonesia. Tidak seperti di liga-liga Eropa, pelatih lengser baik itu dipecat atau mundur, terbilang sering terjadi di Indonesia, secara khusus Liga 1.
Bahkan di pentas Asia, mungkin hanya Thailand yang mampu menandingi "kekejaman" kompetisi Indonesia, hingga memaksa korban dari kalangan pelatih berjatuhan sebelum durasi kontrak mereka usai.
Pelatih memang berada di "baris terdepan" untuk setiap hasil yang diperoleh tim besutannya. Jabatan pelatih membutuhkan mental baja karena senantiasa dituntut tanggung jawab.
Hanya sedikit yang mengelu-elukan pelatih di saat satu tim berjaya, perhatian justru lebih tersedot ke pemain. Namun saat kalah, pelatih tak jarang menjadi kambing hitam.
Ambil contoh di Liga Thailand atau yang dikenal sebagai Thai League 1. Pada musim 2018, saat kompetisi baru berjalan sembilan pertandingan, sembilan pelatih sudah menjadi "korban".
Dari sembilan pelatih itu, ada yang mundur karena tak enak hati dengan pencapaian mereka, namun alasan terbesar adalah dipecat manajemen klub.
Bagaimana di Liga 1?
Seperti disampaikan di atas, kondisinya tidak jauh berbeda. Bahkan terkadang, pelatih harus rela meletakkan jabatan di saat kompetisi reguler belum nyata-nyata dimulai.
"Pelatih bisa dipecat dan diganti tiap saat. Sehari, seminggu, sebulan melatih bisa langsung diberhentikan. Kalau pemain minimal harus menunggu paruh musim ketika jendela transfer dibuka lagi." Jacksen F. Tiago, Agustus 2019.
Tekanan Turnamen Pramusim
Seperti diketahui, sebelum Liga 1 dimulai, di Indonesia kerap bergulir turnamen-turnamen pramusim. Namun, di sini salah kaprah kerap terjadi.
Sesuai namanya, turnamen pramusim ditujukan sebagai pemanasan sebuah tim sebelum terjun di kompetisi reguler.
Keikutsertaan di turnamen ini semestinya digunakan pelatih, pemain, dan elemen lain dalam tim untuk mendapatkan chemistry, memetakan kelebihan dan kekurangan mengingat adanya perubahan dalam tim tersebut.
Bisa jadi tim itu baru kedatangan pelatih dan staf pelatih anyar, atau pemain-pemain yang baru direkrut.
Semua membutuhkan waktu untuk beradaptasi, dan turnamen pramusim menjadi wadah pas untuk menyatukan visi dan misi di antara mereka.
Singkat kata, turnamen pramusim menjadi panggung untuk mengukur kesiapan tim sebelum bertempur di pentas sesungguhnya bernama kompetisi.
Hanya, tidak sedikit klub yang membebani pelatih dengan target tinggi alias jadi juara di turnamen pramusim. Gengsi, atas nama tuntutan suporter, hingga hadiah yang menggiurkan menjadi alasan sebuah klub menginginkan gelar di turnamen pramusim.
Apakah salah? Mungkin saja, tidak. Namun, jika sampai pelatih menjadi korban sebelum ia benar-benar menjalankan tugasnya, tentu kurang bijaksana.
Data yang dikumpulkan Bola.com, jelang kompetisi Liga 1 2018, ada satu pelatih yang merasakan ganasnya tekanan turnamen pramusim ala klub Indonesia. Jumlah itu bertambah menjadi dua pelatih, jelang Shopee Liga 1 2019.
Dua pelatih itu adalah Fabio Lopez (Borneo FC) dan Miljan Radovic (Persib Bandung). Karier keduanya hanya seumur jagung setelah pencapaian di turnamen pramusim ketika itu, Piala Presiden 2019, dianggap tidak memuaskan.
Meski, ketika itu keduanya juga membawa tim masing-masing melakoni fase awal di Piala Indonesia 2018.
Namun, kegagalan di Piala Presiden 2019 bak palu yang memukul karier keduanya di kancah sepak bola Indonesia. Fabio Lopez dipecat hanya dalam durasi karier 93 hari, sementara Miljan Radovic setelah 115 berkarier.
"Kadang-kadang, ada tekanan dari suporter tim. Lalu, orang yang pertama terkena imbasnya adalah pelatih kepala. Saya pikir ini tidak bagus buat sepak bola. Kadang-kadang mereka (manajemen) ganti pelatih untuk sekadar formalitas saja. Cuma untuk ganti pelatih, tim tidak diperbaiki. Tim tidak lebih bagus." Stefano Cugurra Teco, Agustus 2019.
Ingin Prestasi Instan
Pemutusan hubungan kerja pada musim 2019 berlanjut ke kompetisi reguler. Catatan Bola.com, hingga pekan ke-13 Shopee Liga 1 2019 ada delapan pelatih yang kehilangan jabatannya.
Korbannya tak pandang bulu. Pelatih kawakan, kaya pengalaman, punya nama besar, pelatih muda, hingga legenda hidup tim yang beralih profesi sebagai nakhoda tim, tetap masuk daftar pelatih yang terkena pemecatan. Sebut saja, seperti Luciano Leandro, Jafri Sastra, Angel Alfredo Vera, Jan Saragih, hingga Djadjang Nurdjaman.
Jumlah itu bertambah menjadi 10 pelatih, memasuki pekan ke-17 atau pada paruh pertama Shopee Liga 1 2019. Jumlah yang cukup mencengangkan, meski situasi serupa pernah terjadi pada Liga 1 2017.
Pada musim 2017, juga ada 10 pelatih yang kehilangan jabatan pada putaran pertama.
Alasannya cukup beragam, namun mayoritas disebabkan penampilan tim yang tidak sesuai ekspektasi. Ada pelatih yang dipecat, ada pula yang memutuskan mengundurkan diri lantaran gagal memenuhi klausul dalam kontrak dengan pihak klub.
Caranya juga beragam. Ada yang dipecat dengan pemberitahuan resmi, melalui pesan singkat saja, ada yang menganggap pemecatan itu dilakukan secara mendadak, dan ada pula yang mundur lantaran merasa tahu diri.
Tingginya pemecatan pelatih di Liga 1 2019 tidak terlepas dari ketidaksabaran beberapa pihak. Mulai manajemen, bahkan hingga tekanan dari suporter yang belakangan masuk menjadi pertimbangan.
Klub terkadang mencari jalan pintas dengan mengganti pelatih karena rentetan hasil negatif yang diraih.
Apa pun itu, hal ini seakan membuktikan klub peserta Liga 1 menerapkan standar yang kian ketat dan beban yang berat untuk para pelatih.
Bagaimana dengan di Shopee Liga 1 2020 yang segera bergulir?
Sejauh ini "baru" Eduardo Perez yang terpaksa meninggalkan jabatannya. Turnamen pramusim berlalu dengan "mulus" tanpa jatuh korban dari kalangan pelatih.
Kemungkinan, pelatih dan tradisi kursi panas itu lagi-lagi tidak terelakkan. Hanya, semestinya kabar-kabar pemecatan pelatih atau pelatih lengser itu tidak akan begitu sering terdengar sepanjang musim 2020.
Alasannya, cukup jelas, bahwa untuk meraih prestasi, tidak ada yang bisa instan. Semua memerlukan waktu sekaligus kesabaran.
"Saya turun dari bus langsung disampaikan oleh manajer bahwa saya diberhentikan dari Persebaya." Djadjang Nurdjaman, Agustus 2019.
"bola" - Google Berita
February 25, 2020 at 09:15AM
https://ift.tt/2usmfrL
Pelatih dan Tradisi Kursi Panas di Liga 1 - Bola.com
"bola" - Google Berita
https://ift.tt/31nZHnd
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pelatih dan Tradisi Kursi Panas di Liga 1 - Bola.com"
Post a Comment